Banyak orang baik di Bratislava

Ternyata orang baik ada dimana-mana, tak terkecuali di Bratislava, sebuah kota yang selama ini saya anggap suram.

city hall di main plaza

Hujan deras baru saja berhenti saat bus yang kami tumpangi dari Hungaria masuk ke terminal bus sentral Bratislava. Saya dan kedua teman seperjalanan saya sudah menyusun rencana bahwa setibanya kami di ibukota Slovakia ini, kami harus mencari informasi jadwal keberangkatan bus menuju Praha pada keesokan harinya, menukarkan Euro ke mata uang lokal, dan segera ke hostel yang sudah kami pesan pada malam sebelumnya.

Di luar terminal bus hari sudah gelap, waktu setempat menunjukkan pukul 8 malam. Perut kami bertiga keroncongan. Saya dan Windy memutuskan membeli makanan di sebuah kedai makanan di luar stasiun sambil menukarkan uang Euro ke mata uang lokal. Berdasarkan pengalaman kami di Hungaria, kami bisa saja membeli sesuatu dengan Euro dan mereka akan memberikan kembalian menggunakan mata uang setempat. Daripada mencari money changer yang belum ketahuan ada di mana, kami rasa ini cara paling efektif malam itu. Kami lapar dan kami butuh uang untuk membeli tiket bus lokal menuju hostel. Diputuskanlah Mumun bertugas menjaga tas kami di terminal.

Orang-orang memenuhi trotoar di bagian luar terminal bus Bratislava. Saya dan Windy berjalan sedikit cepat sambil berusaha menghindari genangan air hujan di sana-sini. Tiba di kedai makan cepat saji milik Amerika, kami disambut oleh seorang perempuan yang raut mukanya sangat ramah.

“excuse me, can we pay using our euro?” tanya Windy memastikan.
“ya, tentu saja” jawab perempuan itu cepat.

Perempuan di belakang meja kasir itu menatap kami bingung. Karena khawatir perempuan itu kurang paham bahasa Inggris     yang kami ucapkan, Windy mengulanginya lagi.

“Uhm, kami hanya memiliki Euro dan kami membutuhkan mata uang lokal. Tapi kami tak menemukan tempat menukar uang di sini. Jadi, apakah bisa kamu  membeli makanan di sini dan mendapatkan kembalian dalam bentuk mata uang kalian?”

Perempuan itu tersenyum lebar.

“But our money is Euro too.”

“Oooooooh.” Hanya itu yang keluar dari mulut saya dan Windy ketika mendengar penjelasannya. Kami berdua saling tatap. Ini di luar dugaan kami. “Okay, we’ll get back to you,” kata saya cepat.

Kami berdua tertawa terbahak-bahak, mentertawakan kebodohan kami di sepanjang jalan menuju ke terminal bus. Bahkan ketika sampai di terminal dan menceritakan hal ini kepada Mumun, kami belum bisa berhenti tertawa.

“Kenapa, sih, kita nggak googling dulu?” tanya Mumun.
“Entahlah… Hungaria yang negaranya lebih besar saja mata uangnya bukan Euro, jadi tanpa sadar kita nganggap samaan kali, ya?” sambar saya dengan cepat.
“Betul. Ceko aja pake mata uang sendiri. Nah, ini kan negara lebih kecil, ya, malah dia pake Euroooo.” Windy menambahkan.
“Lalu, makanannya mana? Kalian nggak jadi beli?” tanya Mumun lagi.
“Enggak!” Saya & Windy menjawab serempak sambil tertawa terbahak-bahak.
“Udah deh, kita segera ke hostel aja yuk, nanti makan disekitar hostel saja. Hostel kita dekat dengan stasiun ini kok” kata windy sambil membaca petunjuk yang tertera di form bookingan hostel kami.

Mumun & Windy – teman seperjalanan

Hostel kami mungkin memang jaraknya dekat dengan terminal bus sentral dan saat itu kami bertiga sudah merasa aman karena telah mengantongi Euro, tapi ternyata untuk naik bus dengan nomer yang kami butuhkan bukan hal mudah, membutuhkan usaha yang cukup membuat kami mengelus dada. Kondisi kami sedang kelaparan ditambah dengan keadaan diluar yang gelap dan gerimis tak berhenti membuat kami tidak setenang biasanya. Petunjuk yang diberikan saat kami melakukan pemesanan kamar hostel hanya berupa nomer bus yang harus kami naiki dan di halte apa kami mesti turun. Petunjuk yang singkat dan kurang jelas apalagi bagi kami yang baru kali ini menginjakkan kaki di Bratislava.

Pada bagian luar terminal bus sentral tempat kami berdiri terlihat ada 2 buah halte bus yang terlihat ‘sibuk’, beberapa orang yang berdiri sambil merokok untuk menunggu hujan berhenti, para supir taksi dan satpam terminal yang bermuka masam. Satu-satunya cara tercepat untuk menjawab masalah ini adalah dengan bertanya, dan biasanya kami akan bertanya dengan siapa saja yang menurut kami menarik. Masalahnya, hari semakin gelap dan hujan masih turun rintik-rintik sehingga semua orang mempercepat langkahnya membuat kami sedikit kesulitan untuk memutuskan kepada siapa kami harus bertanya ditambah ternyata bahasa yang umum digunakan di Bratislava bukanlah bahasa Inggris sehingga kami harus menggunakan bahasa tarzan saat bertanya.

“eh, gue tanya cowok itu ya” sahut Mumun, dan ternyata cowok tersebut datang dari Praha dan sedang menunggu dijemput oleh pacarnya, jadi ia gagal memberikan jawaban yang kami butuhkan.
“Ok, gue cek ke 2 halte bus itu ya” sahut saya, dan saya pun mondar-mandir di kedua halte yang berada diseberang stasiun dan sibuk memperhatikan nomor yang tertera di badan bus. nihil. tidak ada nomor yang sesuai.
Sementara saya mengecek nomor bus, windy bertanya ke beberapa orang di sekitaran halte di depan stasiun dan untunglah ada seorang perempuan yang bisa berbahasa Inggris dan memberitahu dimana kami harus menunggu bus dengan nomer yang cari. Rupanya, halte tempat kami menunggu terletak di bagian samping stasiun bus. Halte ini tidak terlihat sama sekali dari tempat kami berdiri maupun saat saya berjalan mondar-mandir. Sambil tersenyum penuh kemenangan kami bertiga dengan percaya diri melangkah menuju halte tersebut.

Banyak cafe lucu-lucu disini

Rupanya keberuntungan belum berpihak pada kami malam itu. Saat bus yang dinantikan tiba, karena Mumun dalam perjalanan ini kami tugaskan sebagai yang bertanggung jawab masalah biaya transportasi maka Mumun masuk terlebih dahulu ke dalam untuk mengurus pembayaran, eh, ternyata ditolak oleh pak supir dan Mumun pun kemudian turun dari bus dengan muka putus asa. Perempuan yang tadi memberi petunjuk ke Windy ternyata naik bus yang sama dengan bus yang seharusnya kami naiki dan berteriak dari dalam bus “yes, this is the bus to your hostel and you should buy the ticket there!” tangannya menunjuk ke mesin kecil dibelakang kami dan tak lama bus tersebut pun berlalu. Kami pun hanya bisa saling bertatapan dengan wajah bingung. Menurut pengalaman kami sebelumnya, biasanya, karcis bus bisa dibeli dan dibayar didalam bus, baik dimasukkan ke dalam mesin atau dibayarkan ke pengemudinya, nah, ternyata tidak dengan Bratislava dan kami tidak memperhatikan hal ini.

Tak lama seorang nenek tua kemudian datang menghampiri kami dan ia memegang tangan saya sambil berbicara dengan bahasa Bratislava (dan saya membalas dengan bahasa Inggris tentunya) menjelaskan bagaimana proses pembelian karcis untuk naik bus. Tak lama ia sadar bahwa saya dan kedua teman saya lainnya tidak paham dengan apa yang ia katakan, dan dengan sabar si nenek mengulang penjelasannya tetapi kali ini ia menunjukkan prosesnya dengan gestur tubuh dan bahasa tarzan yang jelas mulai dari menentukan jenis karcis, tempat memasukkan uang hingga pengambilan karcis tersebut. Di Bratislava, karcis naik bus harus dibeli terlebih dahulu di mesin yang terletak di dekat halte (kecuali saat saya mau ke stasiun bus dari hostel pembelian karcis dilakukan di warung), dan mesin tiket ini hanya menerima uang koin saja mulai dari koin dengan pecahan kecil hingga yang besar. Dengan bahasa isyarat si nenek bertanya dimana uang kami dan ia kemudian melihat kalau saya telah menyiapkan uang kertas untuk pembayaran maka si nenek berkesimpulan kalau kami tidak memiliki uang koin dan langsung menggenggam tangan saya dan membawa saya ke warung di belakang halte. Sebelum saya mengikuti si nenek Mumun sempet berkata “eh, ini ada koin nih”, tapi saya tidak menggubris Mumun dan memilih untuk mengikuti si nenek menuju ke warung. Dengan sigap dia berkata ke si penjaga warung bahwa saya mau tukar uang koin untuk naik bus dan kemudian kami kembali ke depan mesin karcis dengan persediaan koin yang banyak ditangan saya. Dasar nenek superbaik, saya kira dia akan membiarkan saya untuk membeli karcis bus tersebut, eh, ternyata dia juga yang kemudian mengurus pembelian karcis bus hingga uang koin yang semula ada di telapak tangan berganti dengan 3 lembar karcis bus. Saya nggak tau harus berkata apa saat melihat senyum si nenek yang bahagia melihat kami bertiga tertawa senang. Ia pun memastikan bahwa kami telah mempunyai tempat untuk bermalam malam itu. Setelah mengucapkan terima kasih kami pun menunggu bus dan berdiri terpisah.

Kemudian muncul 2 bus dalam waktu yang berdekatan yang ternyata adalah bus si nenek dan bus kami dibelakangnya. Si nenek memanggil kami sambil menunjukkan bahwa itu adalah bis yang kami tunggu. “segera naik, itu bis kalian, jangan lupa scan tiketnya” kira-kira begitu saya mengartikan kata-kata yang keluar dari mulutnya dan gerakan tubuhnya. Kami bertiga pun segera naik ke bus tersebut. Ah, nenek… kamu terlalu baik :’)

seru-seruan di Bratislava

Sesuai petunjuk, kami turun dari bus pada pemberhentian yang keempat, dan kemudian kami kebingungan kearah mana kami harus berjalan. Saat itu juga ada seorang laki-laki (yang kami curigai sedikit mabuk) menawarkan diri untuk mengantarkan kami dengan menunjukkan arah karena dia juga akan menuju ke jalanan dimana hostel kami berada, dan kami pun menolaknya. Ia keukeuh untuk mengantarkan kami dan mengikuti kami berjalan dan kami tetap menolaknya. Laki-laki tersebut mengalah saat kami bertemu 3 warga lokal (yang salah satunya ganteng) dan mereka berkata kepada laki-laki tersebut bahwa merekalah yang akan mengantar kami karena mereka juga akan menuju ke jalanan tersebut. Kami pun berjalan mengikuti ketiga warga tersebut dengan tergesa-gesa. Maklum ya, mereka melangkah satu kali, kami (saya & mumun khususnya) harus melangkah sebanyak 2x untuk menyamakan ritme jalan jika tak mau tertinggal. Di persimpangan jalan ketiga warga tersebut mengarahkan kami mengenai posisi persis dimana hostel kami berada dan kemudian kami berpisah. Terima kasih ya, Mas Ganteng!

Kami sudah terlalu lelah dan gerimis diluar tak juga berhenti sehingga kami memutuskan untuk makan malam di hostel. Di basement hostel yang hangat kami menutup malam pertama di Bratislava dengan menikmati sepiring keju panggang sambil menertawakan kebodohan yang baru saja kami alami, dan saat itu saya tau kalau saya sudah jatuh cinta dengan Bratislava. Ah, Bratislava – little big city.
******

ps: keesokan harinya kami bertiga melihat bahwa si laki-laki yang kami kira mabuk itu sedang bekerja di bangunan sebelah hostel kami. *oops.. we’re sorry, mister!*

kalau sentuh ini akan kembali lagi!
Total
0
Shares
Comments 5
  1. Ah, gue terharu sama kebaikan nenek itu :(

    Gue pernah punya pengalaman serupa saat pertama kali ke Singapura, sekaligus pertama kali ke luar negeri. Gue dikash tahu rute MRT dari Changi ke hotel, dikasih peta kecil, diajarin pake mesin tiketnya (padahal nggak kami minta), dan mau meminjamkan uang kecilnya untuk tiket kami (duit kami pecahan gede 50 SGD). Padahal gue kira Singapura itu acuh tak acuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Prev
Diving di Bunaken

Diving di Bunaken

Ihiy, seneng banget akhirnya kesampean diving di Bunaken pada akhir Maret 2014

Next
How To Enjoy Komodo Island?

How To Enjoy Komodo Island?

Take an early flight from Denpasar to Labuan Bajo (make sure you reach Labuan

You May Also Like
Exit mobile version